Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) prihatin dengan kebijakan pembayaran jaminan jam terbang 60 jam kepada pilot atau Guarantee Hour Allowance (GHA) yang diterapkan manajemen perusahaan pelat merah itu.
Kebijakan ini dinilai pemborosan dan merugikan negara.
“Kami prihatin kalau pemborosan ini tidak diakhiri,” ujar Ketua DPP Serikat Karyawan Garuda Indonesia, Tomy Tampatty ketika dihubungi, Selasa 9 Agustus 2022.
Menurut Tomy, dampak dari beban biaya tidak produktif tersebut patut diduga telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 500 miliar lebih di tubuh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Ketua Umum Sekarga Dwi Yulianta menyatakan sangat prihatin atas keputusan Direktur Utama Garuda Indonesia karena keputusan ini akan mempengaruhi kemampuan perusahan dalam melaksanakan hasil keputusan PKPU.
“Karena pada per Januari 2023 perusahaan harus mulai membayar cicilan kewajiban terhadap kreditur dan jika tidak dibayar maka PT Garuda indonesia (Persero) Tbk bisa dinyatakan pailit,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa 9 Agustus 2022.
Dwi menjelaskan GHA merupakan biaya variabel dan bukan biaya tetap perusahaan.
Dalam pelaksanaannya, meskipun terdapat penerbang yang dinas kurang dari 60 jam (hanya 15 jam/25 jam/35 jam, dan seterusnya), namun perusahaan tetap melakukan pembayaran minimal 60 jam terbang dengan estimasi sebagai berikut: A.
Captain (630 Penerbang)Estimasi Gaji Pokok Rp 40.000.000Jaminan 60 Jam Terbang Rp 36.000.000 (60 Jam x Rp 600.000)Total Penghasilan per bulan Rp 76.000.000 B.
First Officer (570 Penerbang)Estimasi Gaji Pokok Rp 30.000.000Jaminan 60 Jam Terbang Rp 30.000.000 (60 Jam x Rp 500.000)Total Penghasilan per bulan Rp 60.000.000 C.
Estimasi Biaya Guarantee Hour Allowance (GHA) 60 jam dalam 1 (satu tahun) seluruh Penerbang adalah Rp 477.360.000.000 (Kondisi Normal sebelum Pandemi Covid-19) Estimasi di atas, kata Dwi, mengacu pada kondisi penerbangan normal dengan total armada Garuda Indonesia 142 Pesawat, maka kebijakan pembayaran jaminan jam terbang 60 jam atau GHA kepada setiap penerbang masih dianggap normal dan tidak terlalu membebani biaya perusahaan.